Kesehatan remaja merupakan salah satu penentu keberhasilan pembangunan kesehatan, terutama dalam upaya untuk mencetak kualitas generasi penerus di masa mendatang. Menghadapi bonus demografi pada 2025, pada tahun tersebut generasi remaja saat ini  memasuki usia produktif. Kondisi ini akan menjadi bonus jika penduduk usia produktif itu berkualitas. Sebaliknya jika tidak berkualitas dan berdaya saing, hanya akan menambah beban tanggungan negara. Intervensi untuk mendukung arah tumbuh kembang remaja yang sehat dan produktif sangat diperlukan untuk mendorong remaja memiliki kualitas dan masa depan yang lebih baik. Untuk mendukung pembangunan remaja di Indonesia, pemerintah telah membuat berbagai kebijakan lintas sektor dan llintas program meliputi kesehatan seksual dan reproduksi remaja, kesehatan mental, perlindungan anak, dan peningkatan kualitas pemuda, sesuai amanat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 serta Prioritas Nasional dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 untuk meningkatkan SDM yang berkualitas dan berdaya saing. Sejalan dengan RPJMN dan RKP tersebut, peringatan Hari Gizi Nasional (HGN) pada tanggal 25 Januari 2021 kali ini, Kementerian Kesehatan mengangkat tema “Remaja Sehat, Bebas Anemia”. Remaja menjadi sasaran HGN karena permasalahan kesehatan dan gizi remaja akan mempengaruhi kualitas hidup pada tahapan selanjutnya.

Salah satu tantangan di bidang kesehatan pada remaja adalah tingginya prevalensi anemia. Prevalensi anemia pada remaja putri justru mengalami peningkatan dari 37,1% pada Riskedas 2013 menjadi 48,9% pada Riskesdas 2018, dengan proporsi anemia terbesar ada di kelompok umur 15-24 tahun dan 25-34 tahun. Untuk itu pada kegiatan tahunan Diseminasi Riset Gizi tahun ini yang diselenggarakan pada bulan Februari 2021 lalu, Dinas Kesehatan DIY mengambil tema Kesehatan dan Gizi Remaja. Kegiatan ini dilakukan melalui pertemuan virtual menggunakan platform zoom meeting  dan dihadiri oleh lebih dari 150 peserta terdiri dari petugas gizi puskesmas serta penanggungjawab program gizi di Dinas Kabupaten/Kota se-DIY.

Sekretaris Dept Gizi Kesehatan FKKMK UGM Dr. Mirza Hapsari STP, S.GZ, MPH. R.D., pada kesempatan tersebut menyampaikan bahwa remaja putri berisiko terkena anemia 10x lebih besar dibandingkan dengan remaja laki-laki. Remaja putri mengalami menstruasi sehingga kehilangan banyak darah. Selain itu remaja putri sering melakukan diet ketat sebagai dampak adanya body image. Anemia pada remaja putri ini akan berdampak pada berkuranganya konsentrasi yang dapat menurunkan prestasi belajar dan produktivitas. Selain itu anemia juga berefek jangka panjang pada dirinya dan anaknya kelak. Anak yang lahir dari ibu yang anemia mempunyai resiko pertumbuhan yang tidak optimal dan rawan terkena stunting.

Salah satu tipe intervensi yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi anemia pada remaja putri adalah dengan suplementasi Tablet Tambah Darah (TTD). Pemberian TTD biasanya dilakukan di sekolah maupun diluar sekolah melalui posyandu remaja dengan koordinasi dengan Puskesmas setempat dan Pihak Sekolah. Dalam webinar ini, Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat Kabupaten Kulon Progo Joko Budi Santoso, SKM., M.Kes Pelaksanaan pemberian TTD di Kabupaten Kulon Progo menyasar 17.082 remaja putri yang berada pada 59 SMP dan 57 SMA di wilayahnya yang diampu oleh 21 Puskesmas. Pada Tahun 2019, cakupan pemberian TTD di Kabupaten Kulon Progo disampaikan Joko mencapai sebesar 99,99%. Namun Pandemi COVID-19 menyebabkan sebagian besar puskesmas tidak melaksanakan distribusi TTD karena sekolah dilaksanakan dengan sistem daring. Beliau menyampaikan bahwa distribusi TTD pada remaja putri dilakukan dengan inovasi praktek baik berbasis dusun melalui kader posyandu serta kader remaja. Pak Joko menyampaikan bahwa cakupan Remaja Putri yang diberikan TTD di Tahun 2020 kemarin sebesar 100%. Akan tetapi pemeriksaan hemoglobin untuk evaluasi kadar Fe dalam darah tidak bisa dilakukan karena adanya pengalihan dana untuk penanganan COVID-19. Paradigma distribusi berbasis wilayah sangat mendukung keberhasilan pelaksanaan program TTD bagi remaja putri.

Selain pemberian TTD, remaja perlu diedukasi untuk lebih memahami asupan gizi yang mereka butuhkan. Ketua Program Studi Sarjana Terapan Gizi dan Dietetika Politeknik Kesehatan Yogyakarta, Dr. Agus Wijanarka, S.Si.T, M.Kes memaparkan bahwa perilaku konsumsi remaja di Yogyakarta saat ini sebagian besar lebih memilih makanan modern dari gerai cepat saji yang kebanyakan kurang mengandung zat gizi khususnya mikronutrisi yang lengkap. Jajanan kekinian remaja sebagian besar tinggi kandungan karbohidrat sederhana seperti cilok, leker, cireng, minuman boba dan lain-lain. Padahal makanan tradisional atau pangan berbasis lokal mempunyai potensi menjadi sumber zat besi. Pangan lokal seperti kacang-kacangan, sayuran hijau, produk olahan kedelai merupakan sumber zat besi yang baik. Dr. Agus menyampaikan bahwa dengan membiasakan konsumsi makanan tradisional pada remaja dapat menjaga budaya (makan) sekaligus memenuhi sumber zat besi untuk mencegah terjadinya anemia.

Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia pada remaja di Indonesia secara umum dilakukan melalui tiga program utama yaitu suplementasi zat besi, pendidikan gizi dan fortifikasi pangan. Upaya tersebut perlu dilakukan dengan menyesuaikan dengan metode yang menyenangkan dan menarik bagi remaja. Keterlibatan remaja sebagai role model untuk teman sebayanya juga menjadi salah satu hal yang akan terus dikembangkan untuk mempromosikan pola hidup sehat bagi generasi remaja kita. (nba)

Source